Konflik Hukum Adat Dan Kewarisan Islam Di Indonesia
(Oleh: Taufik Rahman, S.H.I.)
Latar Belakang Masalah
Di Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga kini berlaku hukum kewarisan yang masih sangat pluralistik yakni hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Selain itu, pluralistik hukum waris adat yang tidak bersifat tunggal mengikuti persekutuan hukum adat itu sendiri berdasarkan persekutuan genealogis (keturunan) dan persekutuan territorial (persekutuan hukum teritorial). Baik hukum adat maupun hukum Islam secara formil bukan sumber otoritatif hukum nasional. Hukum adat dan hukum Islam dalam kontestasinya hanya dapat menjadi sumber materiil dan persuasif bagi hukum nasional.
Dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975 dirumuskan bahwa hukum Adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama. Soerojo Wignjodipoero mengutip pendapat Soepomo mendefinisikan hukum Adat sebagai sebagai hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif (unstatutery law), meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, tetap ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Berdasarkan fakta di atas, pluralisme hukum adat yang sudah diyakini secara umum (taken for granted) pada kenyataannya sulit sekali dipadukan. Sampai sekarangpun hukum adat masih belum dapat diwujudkan dalam unifikasi hukum. Oleh karena itu masih belum terdapat keseragaman pengaturan secara nasional di Indonesia. Hal ini bisa difahami karena adanya benturan komplikasi kultural, keagamaan dan sosiologi. Realitas konflik ini terasa karena tidak ada aturan hukumnya atau diatur tetapi tidak sesuai dengan realitas yang ada di masyarakat. Baca Selengkapnya